Sabtu sore setelah ashar, aku membaca catatan-catatan masa laluku yang telah lama tidak sempat kubuka. Rencana-rencana yang terealisasi maupun yang meleset tertulis jelas di deretan tinta hitam yang saling menyambung. Mencoba mengingat kembali romantisme masa lalu ketika berjuang di dunia kampus sampai terakhir diriku bekerja di belantara Malempo, Lombok Timur. Tak sengaja aku menemukan sebuah catatan yang menurutku cukup membuatku tersenyum yang lahir dari kejujuran hati. Syukurlah waktu dan tempat aku menulis catatan ini masih tertulis jelas. Tak ada salahnya kucoba share ke dalam blog ini.
2 Agustus 2008
Malempo, Sambelia, Lombok Timur.
Dilema Sang Segitiga (antara pekerjaan, tholabul ilmi dan cinta)
Inspirasi ketika terjebak dalam dunia maya sore itu. Wajahnya muncul kembali dalam ingatanku setelah terkubur selama lebih dari empat tahun usai perpisahan sekolah. Itulah terakhir kali aku melihat langsung wajahnya yang sempat mengisi salah satu bilik jantungku.
Waktu berjalan seiring kedewasaan yang perlahan muncul sebagai suatu keniscayaan. Diriku ibarat anak burung yang sudah pandai terbang dan mulai mencari makan sendiri. Jauh dari keluarga, lepas dari ketergantungan orang tua memunculkan perasaan ingin melindungi adalah sebuah sunatullah yang pasti dialami setiap laki-laki normal.
Memoriku melayang menembus batas angan empat tahun lebih yang lalu. Ketika apa yang dinamakan dengan jatuh cinta merasuki tubuhku. Iseng kutulis namanya di Google search sesaat kemudian muncul tampilan dengan theme feminim beserta beberapa posting artikel. Diriku belum “ngeh” ketika itu, pikirku barangkali orang lain dengan nama yang sama. Penelusuranku terhenti ketika wajahnya muncul dalam folder foto dan aku yakin benar inilah orangnya. Kucari alamat emainya “dapat”. Akhirnya sepatah dua patah kata ku kirimkankepadanya dengan diawali dengan puisi buluk yang mungkin membuat orang yang membaca langsung menyimpulkan bahwa sang pembuatnya sangatlah amatir. Masa bodoh, toh itu adalah kejujuranku. Kata orang perasaan tak kan bisa menipu.
Cinta yang apatis mungkin tepat dilayangkan kepadaku. Terlalu menjaga, atau memang karakterku yang sok jaga gengsi walua’lam, yang jelas hanya tiga kali aku kirim email kepadanya setelah itu sudah tanpa ada niat untuk minta no HP nya. Hanya sesekali jika aku online, kusempatkan untuk membuka blognya tanpa meninggalkan comment apapun. Bagiku cukup mengobati rasa sepiku. Sungguh cinta yang pasif kataku. Aku mulai berfikir rasional, terlalu jauh untuk meraihnya meskipun terbesit niatan untuk memulai “proses” itu. Cukuplah sekarang diam membisu, kuyakin perkataan bukankah satu-satunya cara untuk memperoleh pengertian diantara dua insan. Bukanlah suku kata yang terucap dari bibir dan lidah yang dapat mempersatukan dua insan. Ada sesuatu yang lebih, ketimbang apa yang diucapkan oleh mulut.
Rasa ingin mencapai puncak karir datang, bersamaan ketika muncul pikiran untuk merealisasikan rencanaku ketika belajar di Kediri. Aku ingin belajar lagi. Tetapi waktu itu hanya selintas angan. Pikirku ketika itu aku tak ingin merepotkan orang tuaku prioritas utama adalah bekerja. Setelah mendapat apa yang aku inginkan, anganku untuk kembali menuntut ilmu muncul. Sementara usia tak lagi muda, keinginan untuk berkeluarga bersama cinta menghampiriku. Ya Allah mudahkanlah urusan hamba Mu.
Itulah catatan yang sempat kutemukan diatas lembaran kertas buku agendaku. Terserah orang yang membaca akan menginterpretasikan seperti apa. Yang jelas itu adalah ungkapan kejujuran di tengah himpitan roda-roda tadirku.